Pembelajaran Matematika
Realistik
A.
Pembelajaran Matematika
Mengajar berarti menyampaikan
pengetahuan atau pendangan melalui suatu proses belajar, dalam hal ini baik
peserta didik maupun guru harus mengerti bahan yang dibicarakan (Rooijakers,
1991: 1). Mengajar dan belajar berjalan bersama-sama dalam suatu proses yang
disebut pembelajaran. Sedangkan menurut Hudojo (1998: 5) mengajar merupakan
suatu kegiatan yang melibatkan pengajar dan peserta didik. Jadi proses
pembelajaran di sekolah dapat dikatakan sebagai suatu aktivitas dari pengajar
atau pendidik (guru) dan yang diajar (peserta didik) yang saling berinteraksi
dalam suatu rangkaian kegiatan yang telah direncanakan, dan keduanya memiliki
fungsi dan tujuan tersendiri.
Matematika mempunyai sistem dan
struktur, oleh sebab itu belajar matematika haruslah bertahap dan kontinyu.
Mempelajari sebuah konsep haruslah dengan mempelajari prasyarat konsep tersebut
terlebih dahulu. Hal itu akan mempermudah untuk memahami konsep itu lebih
lanjut.
Sukahar (1993: 3), belajar matematika
pada hakikatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur
yang diatur menurut urutan logis. Belajar matematika tidak artinya kalau hanya
dihafalkan saja. Belajar matematika baru bermakna bila dimengerti.
Hudojo (1998: 3) mengatakan mempelajari konsep
B yang mendasarkan kepada konsep A, seseorang perlu memahami konsep A lebih
dulu. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu memahami konsep B. Ini
berarti, mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta
mendasarkan kepada pengamalan belajar yang lalu.
Lebih lanjut Hudojo (1998: 15)
mengatakan bahwa untuk mempelajari matematika haruslah secara kontinyu dan
tidak terputus-putus. Belajar matematika dengan terputus-putus akan mengganggu
terjadinya proses belajar mengajar. Dengan belajar matematika secara bertahap, berurutan,
kontinyu diharapkan dapat terjadi perubahan kognitif siswa. Karena dengan
adanya perubahan kognitif peserta didik akan membuat peserta didik mampu
mengaplikasikan materi matematika yang dipelajari secara konseptual maupun
secara praktis artinya peserta didik mampu menerapkan materi matematika dalam
ilmu lain.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses interaksi
antara guru, peserta didik, materi dan lingkungan yang dapat mengembangkan ide,
kreativitas dan penataan nalar peserta didik dalam membangun konsep-konsep atau
prinsip-prinsip matematika melalui belajar matematika secara bertahap dan
kontinyu. Proses tersebut lebih ditekankan pada dorongan kepada peserta didik
sehingga peserta didik dapat mengkonstruksi konsep-konsep dan prinsip
matematika berdasarkan kemampuannya sendiri sehingga konsep dan prinsip
tersebut dapat terbangun kembali.
B.
Pendekatan Pembelajaran Matematika
Karena objek matematika yang bersifat
abstrak, guru dituntut untuk selalu berinovasi dalam melaksanakan proses
pembelajaran matematika. Inovasi guru tersebut misalnya dalam hal pemilihan
pendekatan pembelajaran. Soedjadi (2000: 102) menyarankan untuk memilih suatu
strategi yang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar. Salah satu upaya yang
bisa dilakukan adalah lebih mengakrabkan matematika dengan lingkungan anak.
Hal yang sama dikemukan oleh winataputra
(1992: 97-98) bahwa mengingat peserta didik dan guru keduanya merupakan subyek
dalam pembelajaran, maka pada pembelajaran matematika sekolah hendaknya dapat
dipilih dan digunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan keterlibatan
peserta didik secara aktif, baik mental, fisik, maupun sosial. Keaktifan siswa
itu tidak saja pada keterampilan mengerjakan soal sebagai aplikasi dari
konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya, melainkan perlu lebih
mementingkan pemahaman pada proses terbentuknya konsep.
Pendekatan dalam pembelajaran adalah
suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau peserta didik
dalam mencapai tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses atau
materi pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola (Ruseffendi, 1988: 240).
Hubungannya dengan pembelajaran
matematika Soedjadi (2000: 102) membedakan pendekatan menjadi dua, yaitu:
1. Pendekatan
materi (material approach) yaitu
proses menjelaskan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika
lain. Misalnya menjelaskan topik kongruensi dua segitiga menggunakan
transformasi.
2. Pendekatan
pembelajaran (teaching approach) yaitu proses penyampaian atau penyajian topik
matematika tertentu dengan model pembelajaran tertentu agar mempermudah siswa
memahaminya. Misalnya mengajarkan tentang banyaknya diagonal suatu segitiga
beraturan dengan menggunakan penemuan.
Trefers (1991: 32) mengelompokkan
pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika berdasarkan komponen proses
matematisasinya, yakni metematisasi horizontal dan matematisasi vertikal, ke
dalam empat macam pendekatan, yaitu: mechanistic,
structuralistic, empiristic, dan realistic.
Perbedaan keempat pendekatan dalam pendidikan matematika ditekankan pada sejauh
mana pendekatan tersebut memuat atau menggunakan kedua komponen matematisasi
tersebut.
Selanjutnya Trefers (1991: 32) menyatakan
bahwa matematisasi horizontal merupakan pemodelan situasi masalah dengan
menggunakan bahasa matematika yang sudah dia miliki, atau dengan kata lain
matematisasi horizontal bergerak pada dunia nyata ke dunia simbol. Sedangkan
matematisasi vertikal adalah membangun dan mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan dalam dunia simbol.
De Lange (1987: 43) mengemukakan pula
bahwa matematisasi horizontal meliputi antara lain: proses informal yang
dilakukan peserta didik dalam menyelesaikan suatu soal, membuat model, membuat
skema, menemukan hubungan, memindah masalah dunia nyata ke masalah matematika.
Sedangkan matematisasi vertikal meliputi antara lain: proses menyatakan suatu
hubungan dengan suatu formula (rumus), memakai berbagai model, membuktikan
keteraturan, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi. Tabel berikut
menunjukkan perbedaan dari keempat pendekatan pembelajaran matematika menurut
Trefers (tanda “+” lebih menekankan komponen dan tanda “-“ kurang menekankan
komponen).
Tabel 2.1.
Pendekatan belajar matematika
No
|
Jenis
Pendekatan Pembelajaran
|
Komponen
Matematisasi
|
|
Horizontal
|
Vertikal
|
||
1.
|
Mekanistik
|
-
|
-
|
2.
|
Empiristik
|
+
|
-
|
3.
|
Strukturalistik
|
-
|
+
|
4.
|
Realistik
|
+
|
+
|
Klasifikasi pendekatan pembelajaran
matematika di atas berdasarkan intensitas matematisasinya, dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Mekanistik
atau pendekatan tradisional, lebih memfokuskan pada drill atau latihan dan menghafal rumus saja, sedangkan proses
matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal keduanya cenderung diabaikan.
Menurut filosofi mekanistik bahwa manusia ibarat komputer, sehingga dapat
diprogram untuk mengerjakan hitungan atau algoritma tertentu.
2. Empiristik,
lebih menekankan pada matematisasi horizontal dan cenderung mengabaikan
matematisasi vertikal. Menurut filosofi empiristik bahwa dunia adalah
kenyataan. Dalam pandangan ini, kepada peserta didik disediakan material yang
sesuai dengan dunia kehidupan para peserta didik. Sehingga mereka mempunyai
kesempatan untuk mendapatkan pengalaman.
3. Strukturalistik,
lebih menekankan pada matematisasi vertikal dan cenderung mengabaikan
matematisasi horizontal.
4. Realistik,
dapat memberikan perhatian yang seimbang antara matematisasi horizontal dan
vertikal dan disampaikan secara terpadu kepada siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka
pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah pendekatan pembelajaran
yang menekankan keseimbangan antara matematisasi horizontal dan matematisasi
vertikal.
C.
Pandangan Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Matematika
Pembelajaran matematika di sekolah
selama ini cenderung guru mendominasi proses belajar mengajar dengan metode
ceramah yang diselengi tanya jawab sebagai metode utama, peserta didik menerima
materi pelajaran secara pasif dengan mencatat dan mendengar apa yang ditulis
atau dikatakan oleh guru, pengajaran matematika sering sebagai wujud pelimpahan
fakta matematis dan prosedur perhitungan kepada peserta didik dengan menekankan
perhitungan bukan penalaran sehingga siswa cenderung menghafal.
Sementara menurut prinsip-prinsip dasar
pandangan konstruktivisme, seperti dikemukakan oleh suparno (1997: 49) adalah:
(1) pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, (2) pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru kepada peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan
peserta didik menalar, (3) peserta didik aktif mengkonstruk terus menerus,
sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah, (4) guru sekedar menyediakan
sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.
Konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi
pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan
lingkungan mereka. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari
seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan
sebuah proses yang berkembang terus menerus (suparno, 1997: 28).
Martin dalam Sridana (2007: 4)
mengatakan bahwa pembelajaran dengan konstruktivisme dapat membantu peserta
didik menyaring/memperluas ide-ide dalam memperluas perbendaharaan mereka. Guru
memberikan kesempatan kepada peserta didik secara mandiri memahami suatu konsep
melalui semua pengertian yang tersedia dan benar-benar terlibat. Guru hanya
membantu terjadinya proses membangun pengetahuan peserta didik tersebut melalui
kegiatan-kegiatan sebagai pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga informasi
menjadi lebih bermakna dan relevan bagi peserta didik. Mislanya, memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan atau menerapkan ide-ide
mereka, mengkondisikan pembelajaran sehingga peserta didik lebih berperan
aktif.
Berdsarkan
pendapat di atas disimpulkan bahwa prinsip dasar dari pandangan konstruktivisme
adalah: (1) pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik, (2) peserta
didik terlibat aktif dalam pembelajaran
baik secara emosional maupun sosialnya, (3) pengetahuan tidak dapat dipindahkan
dari guru ke peserta didik, dan (4) guru hanya sekedar menyediakan sarana agar
proses konstruksi peserta didik dapat berjalan.
D.
Pembelajaran Matematika Realistik
Salah satu pendekatan pembelajaran
matematika yang mengaitkan pengalaman kehidupan nyata peserta didik dengan
materi matematika adalah Realistic
Mathematics Education (RME). RME di Indonesia dikenal dengan nama
pendidikan matematika realistik dan secara operasional disebut pembelajaran
matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik pertama kali
diperkenalkan dan di kembangkan di Belanda pada tahun 1970-an oleh Institut
Frudenthal. Frudenthal (1991) menyatakan bahwa matematika merupakan aktivitas
insani (mathematics as human activity)
yang memandang siswa bukan sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receivers of ready-made
mathematics). Namun, ia harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali
matematika di bawah bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Lebih lanjut
Frudenthal menyatakan bahwa aktivitas poko yang dilakukan dalam pembelajaran
matematika realistik meliputi menemukan masalah (loking for problems), menyelesaikan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).
Soedjadi (2006) menyatakan bahwa dalam
pembelajaran matematika relaistik lebih diperhatikan adanya potensi pada diri
peserta didik yang justru harus dikembangkan. Potensi yang ada pada diri
peserta didik akan mempunyai dampak kepada baigamana guru harus mengelola
pembelajaran matematika. Selain itu juga akan berdampak kepada bagaimana
membiasakan peserta didik melakukan kegiatan yang diharapkan muncul sesuai
kemampuan yang dimilikinya. Keduanya akan berpengaruh kepada budaya guru dalam
mengajar dan bagaimana budaya peserta didik harus belajar. Dengan demikian,
pembelajaran matematika realistik tidak sekedar akan memungkinkan perubahan
peta konsep materi matematika dan hubungannya, namun yang tidak kalah
pentingnya adalah akan mengubah budaya ke arah yang lebih dinamis namun tetap
dalam koridor proses pendidikan.
Oleh karena itu, pembelajaran matematika
realistik adalah inovasi pendekatan pembelajaran yang menekankan bahwa
matematika merupakan suatu aktivitas manusia yang harus dikaitkan dengan
kehidupan nyata sehari-hari yang menggunakan konteks dunia nyata sebagai
pangkal tolak pembelajaran, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan
kembali dan mengkonstruk konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika
formal melalui matematisasi horizontal atau vertikal.
1.
Prinsip
Pembelajaran Matematika Realistik
Gravemeijer
(1994) menyatakan bahwa terdapat tiga prinsip dalam mendesain pembelajaran
matematika realistik, yaitu: (1) penemuan kembali secara terbimbing dan proses
matematisasi secara progresif (guided
reinvention and progressive mathematizing), (2) fenomena yang bersifat
mendidik (didactical phenomenology),
dan (3) mengembangkan sendiri model-model (self-developed
models). Ketiga prinsip tersebut lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
a. Penemuan
kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and progressive
mathematizing).
Berdasarkan
prinsip reinvention, peserta didik
semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses
saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sumber inspirasi
dalam merancang materi pelajaran. Selain itu, prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasarkan prosedur
penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk
mengantisipasi prosedur penyelesaian secara formal. Untuk keperluan tersebut,
maka perlu dirumuskan masalah kontekstual yang dapat menjadikan beragam
prosedur penyelesaian yang mengindikasikan rute belajar melalui proses
matematisasi progresif (Gravemeijer, 1994).
Prinsip
penemuan kembali seperti yang dikemukakan di atas, dapat diinspirasi oleh
prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali
menggunakan konsep matematisasi. De Lange (1996) menggambarkan proses penemuan
kembali tersebut harus dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan
dunia nyata, sehingga matematika harus dekat dengan peserta didik dan relevan
dengan kehidupan nyata sehari-hari. Upaya tersebut dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik yang
dimaksudkan tidak mengacu pada realitas, tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh peserta didik (Slettenhaar, 2000).
Dunia
nyata (real word) digunakan sebagai
titik awal untuk mengembangkan ide dan konsep matematika. Dunia nayata adalah
segala sesuatu di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari dan lingkungan
sekitar kita (Blum dan Niss, 1989). De Lange (1996) mendifinisikan dunia nyata
sebagai suatu dunia yang kongkrit, yang disampaikan keopada peserta didik
melalui aplikasi matematika. Karena itu, pada pembelajaran matematika realistik
proses pembelajaran dialihkan pada situasi dunia nyata. Proses pengembangan ide
dan konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata inilah yang disebut
matematisasi konseptual (De Lange, 1996). Lebih lanjut De Lange mengasumsikan
bahwa pengetahuan merupakan proses transformasi yang secara terus menerus
dibentuk dan dibentuk kembali (continously
created and recreated), sehingga bukan merupakan entinitas bebas untuk
dikuasai atau disampaikan. Karena itu, dunia nyata peserta didik harus
disesuaikan secara terus menerus. Secara skematis matematisasi konseptual
disajikan pada gambar 2.1. berikut:
Lebih
lanjut Gravemeijer menggambar proses matematisasi sebagai matematisasi
permaslahan (persoalan) matematika, untuk membedakannya dnegan matematisasi
horizontal yang merupakan matematisasi permasalahan (persoalan kontekstual).
Gravemeijer menggambarkan kedua proses matematisasi tersebut seperti pada
gambar 2.2. berikut:
Gambar
2.2. matematisasi horizontal dan vertikal
Keterangan:
: Interpretasi/menerjemahkan
: Matematika horizontal
: Matematika vertikal
Prinsip
penemuan kembali diawali dengan penyelesaian masalah kontekstual. Pada saat
menyelesaikan masalah kontekstual, peserta didik harus dapat membuat model dari
masalah kontekstual, kemudian dengan caranya sendiri ia menyusun skema dan
mengidentifikasi hubungan-hubungan yang ada dalam masalah kontekstual itu.
Masalah tersebut, kemudian dikembangkan sendiri oleh siswa berdasarkan
pemahamannya, sehingga model yang dikembangkan itu tidak selalu dalam bentuk
model matematika formal yang baku. Pada saat inilah terjadi proses
matematisasi, sehingga siswa dapat menemukan jawaban masalah kontekstual dari model
melalui strateginya sendiri dan dimungkinkan menggunakan strategi informal.
Jawaban masalah kontekstual yang diperolehnya, kemudian diterjemahkan kembali
ke dalam masalah yang sebenarnya. Selanjutnya dalam pemecahan masalah
kontekstual belum tentu terjadi prinsip penemuan kembali (reninvention). Prinsip penemuan kembali akan terjadi, apabila
dalam proses pengembangan model atau penemuan jawaban dari model digunakan atau
ditemukan bahasa matematika dan algoritma formal. Melalui bahasa matematika dan
algoritma formal inilah pengetahuan matematika formal dapat dibangun kembali.
Matematisasi
horizontal terjadi pada saat siswa menguraikan masalah kontekstual ke dalam
model dan menggunakan strategi informalnya untuk menyelesaikan masalah
kontekstual. Namun, apabila strategi informalnya mengarahkan siswa untuk
menyelesaikan masalah kontekstual dengan menggunakan bahasa matematika atau
menggunakan suatu algoritma, maka proses ini beralih menjadi matematisasi
vertikal. Apabila siswa dalam proses tersebut dapat membangun suatu pengetahuan
matematika yang formal, maka dapat dikatakan bahwa siswa telah masuk kepada
proses penemuan kembali.
a. Fenomena
yang bersifat mendidik (didactical
phenomenology).
Berdasarkan
prinsip ini penentuan situasi yang mengandung penerapan topik matematika
didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan jenis aplikasi
yang harus diantipasi dalam pembelajaran, dan (2) mempertimbangkan pantas
tidaknya konteks itu sebagai hal yang berpengaruh dalam proses matematisasi
progresif. Secara historis, matematika dikembangkan dari penyelesaian masalah
praktis, sehingga dimungkinkan ditemukan masalah yang melahirkan proses
perkembangan dalam aplikasi terkini. Selanjutnya dapat dibayangkan bahwa
matematika formal terbentuk melalui proses generalisasi dan formalisasi
prosedur-prosedur penyelesaian penyelesaian masalah situasi khusus dan konsep
tentang berbagai situasi. Karena itu, tujuan investigasi fenomena ini adalah
menemukan situasi-situasi masalah dengan prosedur masalah dapat digeneralisasi
dan untuk menemukan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan dasar untuk
matematisasi vertikal (gravemaijer, 1994).
Berkaitan
dengan pendapat di atas, prinsip fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology) adalah
menemukan situasi masalah kontekstual dan melalui pendekatan pada situasi
tertentu kemudian kemudian dilakukan generalisasi, sehingga diperoleh suatu
prosedur penyelesaian masalah kontekstual yang dapat digunakan sebagai dasar ke
matematisai vertikal. Dengan perkataan lain, dalam pembelajaran matematika
realistik diharapkan masalah kontekstual yang digunakan dapat mengarahkan siswa
dalam proses untuk mengembangkan pengetahuan matematikanya.
b. Mengembangkan
sendiri model-model (self-developed
models).
Pada
prinsip ini dinyatakan bahwa model yang dikembangkan sendiri oleh siswa
berperan menjembatani perbedaan antara pengetahuan informal dengan matematika
formal. Pada mulanaya, model ini merupakan model yang sudah dikenal siswa.
Melalui proses formalisasi dan generalisasi, model itu menjadi sesuatu yang
yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada situasi asalnya. Hal ini sangat
mungkin digunakan sebagai model untuk penalaran matematika (Gravemeijer, 1994).
Selanjutnya, Gravemeijer manyatakan bahwa peserta didik belajar dari tahap
situasi nyata, tahap pemodelan (referensi), generalisasi dan tahap formal
matematika. Soedjadi (2001) menggambarkan bahwa urutan pembelajaran tersebut
adalalah masalah kontekstual ®
model dari masalah kontekstual ®
model ke arah formal ® pengetahuan formal.
1.
Karakteristik
Pembelajaran Matematika Realistik
Berdasarkan
prinsip-prinsip pembelajaran matematika realistik, dalam implementasinya
Gravemeijer (1994) merumuskan karakteristik pembelajaran matematika realistik,
yaitu: (1) menggunakan konteks (the use
of context), (2) menggunakan model (the
use of models, bridging by vertical instrument), (3) menggunakan kontribusi
siswa (student contribution), (4)
proses pengajaran yang interaktif (interactivity),
(5) terintegrasi dengan topik lainnya (intertwining).
Karekteristik pembelajaran matematika realistik secara sederhana dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Menggunakan konteks (the use of context)
Pembelajaran diawali
dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dengan sistem formal.
Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik pembelajaran harus merupakan
masalah sederhana yang dikenal siswa.
b.
Menggunakan model (the use of models,
bridging by vertical instrument)
Istilah model berkaitan
dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa
sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain
dengan menggunakan instrumen-instrumen vertikal seperti model-model, skema-skema,
diagram-diagram, simbol-simbol dan sebagainya.
c.
Menggunakan kontribusi siswa (student
contribution)
Kontribusi yang besar
pada proses belajar diharapkan datang dari siswa, artinya semua pikiran
(konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan.
d.
Proses pengajaran yang interaktif (interactivity)
Mengoptimalkan proses
belajar mengajar dan terdapat interaksi yang terus-menerus antara peserta didik
dengan peserta didik, peserta didik dengan guru dan peserta didik dengan sarana
dan prasarana merupakan hal penting dalam pembelajaran matematika reaslistik,
sedemikian hingga setiap peserta didik mendapat manfaat positif dari interaksi
tersebut.
e.
Terintegrasi dengan topik lainnya (intertwining)
Matematika meruapakan
ilmu yang terstruktur, oleh karena itu keterkaitan dan keterintegrasian
antartopik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya
proses pembelajaran yang lebih bermakna, sehingga memunculkan pemahaman secara
utuh.
Pembelajaran
metematika reaslitik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak
pembelajaran, maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual
atau sesuai dengan pengalaman peserta didik atau lingkungan peserta didik,
sehingga peserta didik dapat menyelesaikan masalah dengan cara-cara informal
melalui matematisasi horizontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh
peserta didik digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek
matematikanya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses
matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau
menentukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
Dalam
pembelajaran matematika realistik, peran guru adalah sebagai fasilitator yang
memfasilitasi proses belajar, pembimbing atau teman belajar yang lebih berpengalaman
yang tahu kapan saatnya memberi bantuan (scaffolding)
dan bagaimana cara membantu, agar proses konstruksi dalam pemikiran siswa dapat
berlangsung. Akbiatnya, pada proses pembelajaran di dalam kelas, siswa harus
aktif menyelesaikan masalah, guru membimbing, membantu dan mengawasi agar
proses belajar berlangsung dengan baik.
Berkaiatan
dengan pendapat di atas, maka pembelajaran matematika realistik berpusat kepada
peserta didik, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga
memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana peserta didik belajar,
bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma
pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang
mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika
reaslitik.
Oleh
karena itu, dalam pembelajaran matematika realistik diharapkan siswa akan
berani mengemukakan pendapatnya serta mampu menerima pandapat orang lain, dan
juga mengetahui perlunya negoisasi dalam kehidupan. Sedangkan guru diharapkan
mengurangi kebiasaannya menggurui dan beralih fungsi sebagai fasilitator
(Soedjadi, 2006).
Berdasarkan
kajian yang telah dikemukakan, maka yang dimaksud dengan pendekatan
pembelajaran matematika realistik adalah pendekatan pembelajaran matematika
yang memiliki tiga prinsip, yaitu: penemuan kembali secara terbimbing dan
proses matematisasi secara progresif, fenomena yang bersifat mendidik, serte
mengembangkan sendiri model-model. Ketiga prinsip tersebut kemudian dioperasionalkan
menjadi lima karakteristik, yaitu: menggunakan masalah konteks dunia nyata
sebagai pangkal tolak pembelajaran, menggunakan model matematika yang
dikembangkan sendiri oleh peserta didik, mempertimbangkan kontribusi peserta
didik, mengoptimalkan interaksi peserta didik dengan peserta didik, peserta
didik dengan guru, dan peserta didik dengan sarana pendukung lainnya, serta
mempertimbangkan keterkaitan antartopik dalam pembelajaran.
2.
Langkah-langkah
Pembelajaran Matematika Realistik
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan, maka secara sederhana dapat dirumuskan
langkah-langkah pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut:
1) Langkah
1: memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah
kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari oleh peserta
didik. Kemudian meminta peserta didik untuk memahami masalah kontekstual
tersebut. Jika terdapat hal-hal yang belum dipahami oleh peserta didik, guru
menjelaskan atau memberi petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum
dipahami peserta didik. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang
muncul pada langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat
sebagai masalah awal pembelajaran.
2) Langkah
2: menyelesaikan masalah kontekstual
Peserta didik secara
individu diminta unruk menyelesaikan masalah kontekstual pada lembar kerja
siswa dengan caranya sendiri, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan
penyelesaian. Selama siswa menyelesaikan masalah, guru mengamati dan mengontrol
aktivitas peserta didik. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang
muncul pada langkah ini adalah menggunakan instrumen vertikal, seperti model,
skema, diagram dan simbol.
3) Langkah
3: membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru memberikan waktu
dan kesempatan kepada peserta didik untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban dari masalah (soal) dengan teman sekelompoknya, untuk selanjutnya
dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi kelas. Karakteristik pembelajaran
matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah penggunaan kontribusi
siswa dan terdapat interaksi antara peserta didik yang satu dengan peserta
didik yang lainnya.
4) Langkah
4: menyimpulkan
Guru mengarahkan siswa
untuk mengambil kesimpulan dari hasil diskusi kelas sehingga diperoleh suatu
rumusan konsep, prinsip, atau prosedur. Karakteristik pembelajaran matematika
realistik yang muncul pada langkah ini adalah adalah interaksi antara peserta
didik dengan guru.
3.
Pandangan
Konstruktivis Terhadap Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran
matematika di sekolah yang dilaksanakan saat ini, umumnya guru masih
mendominasi proses belajar mengajar dengan menerapkan pendekatan pembelajaran
konvensional dan metode ceramah pada pembelajaran matematika. Guru memulai
pembelajaran dengan memaparkan materi (definisi dan teorema), kemudian
memberikan contoh-contoh soal dan selanjutnya mengevaluasi siswa melalui
latihan soal. Hal ini menujukkan bahwa siswa menerima pelajaran matematika
secara pasif bahkan hanya menghafalkan rumus-rumus tanpa memahami makna dan
manfaat dari apa yang dipelajarinya.
Lochhead
dalam Orthon (1991) menyatakan bahwa:
... that knowledge is
not entity wich can be simply transferred from those who have to those who
don’t ... knowledge is something which each individual learner must contruct
for snd by him self.
Pendapat
Loachhead tersebut, pada dasarnya menyatakan bahwa pengetahuan bukan sesuatu
yang dapat begitu saja ditransfer dari guru yang telah memiliki pengetahuan
kepada peserta didik yang belum memiliki ilmu pengetahuan, melainkan
pengetahuan itu diharus dikonstruksi (dibangun) untuk dan oleh peserta didik
itu snediri. Karena itu, pada pembelajaran matematika realsitik yang meruapakan
inovasi pendekatan pembelajaran matematika, maka pengetahuan itu harus
dikonstruk (dibangun) untuk dan oleh siswa itu snediri. Hal ini nampak sejalan
dengan teori konstruktivis.
Suparno
(1997) menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivis adalah:
(1) pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik, baik secara personal
maupun secara emosional, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke
peserta didik, kecuali dengan keaktifan peserta didik menalar, (3) siswa aktif
mengkonstruk terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah,
dan (4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi peserta didik berjalan mulus.
Sedangkan
Hudojo (1998) menyatakan bahwa pandangan konstruktivis pada pembelajaran
matematika mempunyai ciri-ciri, yaitu: (1) peserta didik terlibat aktif dalam
belajarnya. Peserta didik belajar materi matematika secara bermakna dengan
belkerja dan berpikir, dan (2) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi
sebelumnya, sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki peserta didik.
Selanjutnya
Hudojo (1998) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika perlu diupayakan
penciptaan lingkungan belajar yang konstruktif. Lingkungan belajar yang
konstruktif adalah lingkungan belajar yang: (1) Menyediakan pengalaman belajar yang
mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimiliki peserta didik
sehingga belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan, (2) menyediakan
berbagai alternatif pengalaman belajar, (3) mengintegrasikan pembelajaran
dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret, (4) mengintegrasikan
pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kerja sama antara
peserta didik, (5) memanfaatkan berbagai media agar pembelajaran lebih menarik,
dan (6) melibatkan peserta didik secara emosional dan sosial sehingga
matematika lebih menarik dan peserta didik mau belajar.
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dari pandangan
konstruktivis, yaitu: (1) pengetahuan dibangun
sendiri oleh peserta didik, (2) peserta didik terlibat aktif dalam
pembelajaran baik secara emosional maupun sosial, (3) pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke peserta didik, (4) guru hanya sekedar menyediakan
sarana agar proses konstruksi peserta didik berjalan. Oleh karena itu, inovasi
pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori konstruktivis.
0 comments:
Post a Comment