Sebelumnya
perkenalkan, aku ulum, mahasiswa tingkat akhir yang lagi nyusun TA (Tugas
Akhir). Pasti yang sudah lulus dari Perguruan Tinggi tahu, bagaimana dilemanya
ketika hadapin TA, berikut sedikit cerita “Bagaimana Dilemanya Ketika TA-Ku
Dicoret Dospem”
TA
merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh mahasiswa jika pengen
lulus, kalo nggak pengen yach nggak usah dikerjakan. Ada temenku S-1 dulu
hingga karang tidak lulus bahkan sudah dianggap drop out gara-gara TA-nya tidak dikerjakan. Menurutku, TA merupakan
penentu lulus atau tidaknya di Perguruan Tinggi, kalo di Sekolah semacam
UAN-nya.
Begitu
semester ini sudah dapat mengambil mata kuliah TA, hati begitu senangnya karena
lulus sudah di depan mata, meskipun banyak yang harus dilalui, seperti ujian
proposal, revisi, pengambilan data, ujian TA, revisi, dan publish. Ketika Ketua Prodiku mengumumkan nama-nama dosen
pembimbing mahasiswanya, ketika itu juga aku langsung SMS dosen pembimbing pertama ku. Memberitahu beliau, kalau aku adalah
mahasiswa bimbingannya dan kapan aku bisa menemui terkait dengan judul yang
sudah saya siapkan.
Wich..
dapet fast respon dari sang dosen,
langsung di balas, dan ketika itu juga bertemu dengan beliau. Nggak tau harus
apa saja yang dibawa, akhirnya sebelum ketemu beliau, aku ketik judul yang saya
akan ajukan, dan aku print di
koperasi kampus. Judul yang aku ajukan cuma satu judul, tanpa ada alternatif
judul lain, karena aku sudah mantap dengan judul yang mau aku angkat, perkara
itu nanti tidak disetuju, berarti nanti nyari referensi judul di perpustakaan.
Alhamdulillah... judulku langsung disetujui sama beliau, meskipun ada perubahan
sedikit, terkait dengan perubahan redaksi saja.
Dua
minggu kemudian, aku kembali bertemu dengan beliau, terkait dengan Bab I, dan
waktu itu harus ditinggal, dan bisa diambil 3 hari berikutnya. Setelah 3 hari
kemudian, aku kembali bertemu dengan beliau tuk ambil Bab I aku, dan syukur
tanpa ada coretan yang berarti, cuman terkait dengan teknis saja, seperti tata
letak gambar yang harus diberi sumber, salah ejaan, dan kutipan.
Untuk
bimbingan dengan dosen, aku planning
seminggu sekali harus bertemu dengan dosen pembimbingku, meskipun itu hanya
memberikan hasil revisian sebelumnya, atau terkait dengan Bab berikutnya.
Dilema
menyerangku ketika mulai sudah di Bab II Kajian Pustaka, dan Bab III Metode
Penelitian, coretan-coretan dosen pembimbingku mulai mewarnai kertas
tulisannya. Terkait dengan Bab II, coretan dosenku terkait dengan ulasan yang
aku buat, kurang tajam, sehingga perlu ditambah dengan ulasan-ulasan yang lain.
Berarti, aku harus kembali cari referensi dan bergulat dengan jurnal nasional
maupun internasional. Serta harus, kembali merepotkan teman, karena harus
bertanya terkait dengan terjemahan jurnal internasional, meskipun aku juga
sudah menggunakan google terjemahan, tetapi kadangkala terjemahannya tidak pas,
dan harus bertanya kepada teman. Ini juga yang membuat dilema, lemah berbahasa
Inggris.
Coretan Dospem Ku |
Dan
yang membuat lebih dilema lagi adalah ketika aku bimbingan Bab III, aku ketuk
pintu ruangan dosen pembimbingku, ucapkan salam, dan aku duduk sembari aku
sodorkan tulisan Bab III ku. Oh yach... setiap bimbingan, bagian paling depan,
selalu aku berikan cover. Dibukalah cover-nya sama dosen pembimbingku, dan
ketika itu juga dosen pembimbingku bilang, “Kok pakai buku referensi ini,
jangan pakai buku itu, ubah semuanya, terkait dengan buku itu”, dalam hatiku
berkata “Ampun... harus ngubah semuanya di Bab III, berarti aku harus ngulang
Bab III dari awal cerita”.
Di
sini aku mulai putus asa, dilema, campur aduk jadi satu, bahkan sudah
berpikiran macam-macam, mulai dari “Kenapa
aku dulu kuliah lagi yach..??”, “Ternyata kuliah pas semester akhir seperti ini
nggak enak, capek, capek pikiran, capek fisik, dan capek semuanya”. Bahkan,
karena saking putus asa dan dilemanya, TA-ku nggak aku sentuh selama 2 minggu,
nggak kepikiran bagaimana nasibnya kalau nggak dikerjakan, pokoknya nggak mau
ambil pusing masalah TA.
Semangat
ku bangkit ketika aku baca bukunya Ariesandi Setyono, yang berjudul
“Mathemagics: Cara Jenius Belajar Matematika”, kebetulan juga aku ambil
peminatan matematika. Dalam bukunya beliau, ada halaman yang menceritakan
tentang placebo effect. Berikut
ceritanya:
Seseorang yang sakit diberi obat
yang dimasukkan dalam sebuah kapsul. Ia diberitahu obat yang diminumnya adalah
yang terbaik dan manjur. Dalam waktu yang cukup singkat setelah minum obat
tersebut, si penderita sembuh. Satu hal yang tidak diketahuinya adalah kapsul
tersebut kosong. Tidak ada obat di dalamnya. Mengapa dia sembuh? Karena
ekspektasinya begitu tinggi terhadap obat tersebut. Kita bisa menyebutnya hal
itu sebagai sugesti. Ya memang benar, self-suggestion yang sangat kuat dapat
mempengaruhi pikiran bawah sadar kita untuk bertindak memerintah pikiran sadar
memenuhi apa yang telah diprogramkan.
Dari
penggalan cerita itulah aku mulai bangkit tuk kembali mengerjakan TA-ku, dan
selama aku dilema dan putus asa, yang membuat seperti itu adalah diriku sendiri.
Semuanya disebabkan oleh pikiran dan keyakinan (hati) atau self-suggestion yang terlalu kuat akan gagal, putus asa, dan
dilema. Sekali lagi semuanya karena self-suggestion
kita sendiri. Jadi, mulai sekarang aku tanamkan dalam hati serta pikiranku
akan self-suggestion yang begitu
tinggi akan keberhasilan TA-ku dan berbuah manis dengan dipindahnya kucir toga
nanti ketika wisuda, serta buang jauh-jauh akan negative thinking, dan diganti dengan postive thinking.
Tulisan
ini ditulis dalam rangka mengikuti "Lomba Blog "DILEMA” yang diselenggarakan
oleh Murtiyaniri dari IPB.
Keren untuk tulisannya, semoga menang yah
ReplyDeleteDitunggu juga tulisannya...
ReplyDelete