Tradisi Sinoman Sebagai Mahakarya Indonesia

Minggu (21 Juni 2015) secara tidak sengaja aku melihat tayangan ulang Kick Andy di Metro TV. Acara tersebut bertemakan “Hatiku Tertambat di Negerimu”, di mana membicarakan tentang orang-orang asing yang jatuh hati ke Indonesia dan ingin tinggal selama-lamanya, bahkan akhir hayatnya pun ingin dimakamkan di Indonesia.

Pada kesempatan itu, Kick Andy menghadirkan empat warga negara asing yang sudah lama menginjakkan kaki di negeri ini, salah satunya adalah Hywel Coleman, seorang berkebangsaan Inggris. Singkat cerita, beliau pertama kali datang ke Indonesia pada September 1977, ketika di tugaskan oleh yayasan yang mengirim anak-anak muda Inggris untuk mengajarkan bahasa Inggris di negara lain yang membutuhkannya. Ketika itu beliau masih berumur 23 tahun. Setelah tugasnya selesai, tahun 1984 beliau kembali ke Inggris, dan sempat mengajar di salah satu universitas terkenal di Inggris bahkan sudah mendapatkan posisi yang bagus, akan tetapi melepaskannya, dengan alasan bahwa beliau kangen akan Indonesia.

Ketika ditanya oleh Andy F. Noya, apa yang membuat beliau kangen dengan Indonesia?, jawabannya adalah orangnya. Karena menurut beliau orang-orang Indonesia sangat berbeda dengan orang-orang negara lain yang pernah beliau kunjungi. Orang Indonesia sangat luar biasa ketika diajak bergaul, ada perhatian, kepedulian, serta kepekaan terhadap orang lain. Senada dengan apa yang dikatakan oleh narasumber lainnya Alina Saraswati yang berkebangsaan Rusia mengatakan bahwa orang Indonesia adalah orangnya senang bercanda, murah senyum, dan very friendly.

Cerita singkat di atas menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia sangat peduli, perhatian, peka terhadap orang lain, serta murah senyum, meskipun tidak dikenalnya. Sebagai contoh, di daerah pedesan seperti daerah aku sendiri, ketika jalan dan ada orang yang sedang duduk-duduk di teras rumahnya, tak jarang kita temukan orang yang bilang “nuwon sewu”[1] sambil tersenyum, dan orang yang duduk tersebut menjawabnya dengan kata “monggo”[2]. Terkadang tak jarang pula orang yang lagi duduk tersebut berkata “monggo pinarak”[3], mempersilahkan mampir ke rumahnya, meskipun itu hanya abang-abang lambe[4] kata orang jawa.

Bukan hanya itu, bentuk kepedulian dan perhatian masyarakat di negeri ini, terutama di daerah Jawa adalah masih dilestarikannya yakni tradisi “sinoman”.

Kalau mendengar kata sinoman, mungkin yang terbenak dalam pikiran kita adalah minuman jamu yang terbuat dari daun asam yang muda. Namun, yang dimaksud sinoman di sini adalah tradisi membantu tetangga yang lagi mempunyai hajat, seperti pesta pernikahan, khitanan, atau selamatan.

Tradisi sinoman, berawal dari yang punya hajat datang ke rumah tetangga yang akan dimintai tolong dalam hajatan. Hal ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari H hajatan, bisa tujuh hari atau sepuluh hari sebelumnya. Ketika itu, sang punya hajat mengungkapkan maksud dan tujuannya bisanya berkata “kelompok-kelompok deg omah”[5] dan yang unik di sini adalah semua anggota keluarga tersebut tanpa terkecuali diminta pertolongan, termasuk anak-anaknya.

Setelah itu, tradisi sinoman pun dimulai, biasanya tiga hari sebelum hajatan diselenggarakan. Bagi laki-laki bertugas untuk membuat terop dan tumang[6], sedangkan ibu-ibu bertugas membuat bumbu masakan, kue, goreng kerupuk untuk disajikan bagi para tamu nantinya. Untuk persiapan ini berlangsung siang dan malam, ketika malam hanya pekerjaan ringan saja yang dikerjakan, seperti menghias rumah dengan memasang bendera dan tulisan-tulisan selamat datang para tamu, serta membuat kardus kue bagi anak-anak.

Tradisi sinoman merupakan tradisi gotong royong guna memperingan pekerjaan. Meskipun tanpa ada pembagian tugas, tradisi ini berjalan layaknya ada job disk sebelumnya terutama ketika hari H hajatan.

Ketika hari H, orang-orang dalam tradisi sinoman dibagi menjadi beberapa tugas di antaranya (1) ibu-ibu yang bertugas menata nasi ke dalam piring, menyiram kuah rawon, dan ngasih kerupuk, (2) ibu-ibu yang bertugas menata kue ke piring untuk suguhan tamu di meja dan menata kue ke dalam kardus, (3) pembawa nasi rawon ke para tamu dan membawa balik piring nasi yang telah kosong, (4) penulis buku tamu, serta (5) pembagi kue bagi tamu ketika pulang. Tidak hanya selesai pada hari H hajatan, kesekon harinya pun masih terjadi tradisi sinoman, yaitu untuk menyapu halaman tempat hajatan, mencuci piring dan peralatan dapur yang lainnya, serta membongkar terop bagi para laki-laki.

Meskipun tradisi sinoman dilakukan secara sukarela tanpa bayaran, para tetangga pun semangat menjalaninya, karena rasa kekeluargaan yang sangat kuat di antara mereka. Yang ada hanyalah ketika selesai, para sinoman diberi bungkusan makanan untuk dibawa pulang.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa tradisi sinoman merupakan tradisi yang memupuk rasa kekeluargaan, kebersamaan, serta gotong royong di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih menjaga tradisi tersebut, dan hal ini patut dilestarikan, karena tradisi daerah seperti tradisi sinoman merupakan akar dari kebudayaan nasional, yang merupakan buah mahakarya Indonesia. Orang asing saja bisa bangga dengan negara ini, dan ingin mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia, kenapa kita sebagai orang Indonesia asli tidak lebih bangga dari mereka?



[1] Permisi
[2] Silakan
[3] Silakan mampir
[4] Merah-merah bibir (basa-basi saja)
[5] Kumpul-kumpul di rumah
[6] Tenda dan tungku buat memasak

Penulis : Bakhrul Ulum ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Tradisi Sinoman Sebagai Mahakarya Indonesia ini dipublish oleh Bakhrul Ulum pada hari Wednesday, 24 June 2015. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Tradisi Sinoman Sebagai Mahakarya Indonesia
 

0 comments:

Post a Comment