Belajar Dari Tokoh Bangsa: Hoegeng Imam Santoso

Hampir tujuh puluh tahun sudah bangsa ini merdeka. Akan tetapi kemerdekaan yang kita nikmati hari ini masih belum sepenuhnya, karena masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, salah satunya adalah krisis nilai, terutama krisis nilai keteladanan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sejarawan J.J. Rizal di acara talk show Mata Najwa Metro TV, Rabu 10 Juni 2015 kemarin.
Memang benar yang terjadi sekarang di bangsa ini sangat langka akan mencari sosok teladan, yang bisa dijadikan panutan hidup, yang ada hanyalah para tokoh bangsa yang berindak amoral seenak udelnya, anggota DPR secara berjama’ah melakukan korupsi, aparat polisi sebagai pengedar narkoba di lapas yang ia jaga, hingga saling caplok mencaplok antara KPK dan Polisi seperti yang terjadi sekarang ini.
Kalau seperti itu, pada yang hidup ini kita sangat susah mencari keteladanan, kenapa kita tidak pulang saja ke rumah sejarah untuk menghidupkan yang sudah mati, untuk dijadikan sebagai teladan. Seperti sosok Almarhum Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri yang terkenal dengan sangat jujur, disiplin, sederhana, serta professional dalam mengemban tugasnya.

Biografi Hoegeng Imam Santoso
Hoegeng Imam Santoso, lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Beliau merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem. Semasa kecil, beliau dididik oleh orang tuanya dengan sangat disiplin dalam segala hal, termasuk dalam pendidikannya.
Pendidikan dasar dan SMP beliau tamatkan di tanah kelahirannya, dan setamat dari SMP tahun 1937 beliau hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan SMA-nya di Algemeene Middlebare School (AMS). Kemudian, pada tahun 1949 setamat dari AMS beliau melanjutkan kuliah di Recht Hoge School (RHS) di Batavia.
Awal karir kepolisiannya, ketika beliau mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, Amerika serikat pada tahun 1950. Dari sini, beliau menjabat beberapa posisi strategis di antaranya: Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952), Kepala Bagian Reserse Kriminil Polisi Sumatera Utara di Medan (1956), Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Iuran Negara (1965), dan Menteri Sekretaris Kabinet (1966).
Setelah mengemban semua amanah yang diberikan kepada beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk pindah ke markas Kepolisian Negara, hingga akhirnya pada tanggal 5 Mei 1966 beliau dianggkat menjadi Kepala Kepolisian Negara.

Keteladanan Dari Hoegeng Imam Santoso
Dalam hidupnya, Hoegeng Imam Santoso mempunyai prinsip bahwa selama melakukan perjalanan dinas, isteri dan anak-anaknya tidak boleh ikut menumpang fasilitas kantor, dan beliau tidak pernah mengijinkan isteri dan anak-anaknya memanfaatkan kesempatan menggunakan fasilitas dinas. Berbeda dengan sekarang, banyak kita temukan fasilitas kantor, seperti mobil plat merah berkeliaran di waktu bukan dinas seperti hari-hari libur, bahkan ada lagi yang menggunakan trik plat nomor kendaraan ganda, plat hitam dan plat merah yang bisa dibongkar pasang. Selain itu juga, ada yang mengajak isteri dan anak-anaknya diperjalanan dinasnya, ketika sang suami sengan melakukan tugas, anak isterinya menikmati liburan bahkan wisata belanja.
Berbeda tiga ratus enam puluh derajat dari sosok Hoegeng Imam Santoso, yang bersikap jujur, disiplin, professional, hingga sederhana dalam hidupnya. Berikut adalah beberapa bentuk keteladanan yang bisa kita jadikan panutan dari sosok beliau:
1.    Disiplin.
Selama menjadi Kapolri, sebelum jam tujuh pagi, beliau sudah berada di kantor. Dari rumah dinasnya di Menteng menuju Mabes Polri di Kebayoran Baru selalu ditempuh dengan bersepeda. Cara ini dilakukan agar beliau mengatahui kondisi lalu lintas, termasuk kesiagaan polisi lalu lintasnya. Di samping itu, jika terjadi kemacetan di jalan, beliau tak ragu untuk turun dari kendaraannya untuk mengatur lalu lintas.
2.    Tegas
Sebagai seorang polisi, Hoegeng Imam Santoso adalah sosok yang tegas dan membaja. Polisi di mata beliau adalah penegak hukum, tidak ada kompromi, tidak ada bagi-bagi hasil di bawah tangan. Apalagi soal salam tempel apmlop berisi duit jual kasus.
Dalam menangani kasus, beliau tak pandang bulu, apakah dia orang kaya ataupun aparatur negara. Sebagai contoh ketika menangani kasus penyelundupan mobil-mobil mewah bernilai miliaran rupiah oleh Robby Tjahjadi. Di sini beliau membongar kanglikong antara Robby dengan sejumlah pejabat dan perwira tinggi ABRI, dan berkat membongkar kasus ini beliau dipensiunkan dari jabatan Kaplolri (2 Oktober 1971) meskipun jabatannya belum habis.
3.    Profesional
Sebagai pucuk pimpinan kepolisian, beliau sangat dekat dengan masyarakat, baginya tidak perlu ada sekat antaranya denga masyarakat. Bahkan di halaman rumah beliau tidak ada pos penjaga, agar setiap orang yang bertandang ke rumahnya tidak merasa takut atau tidak merasa enggan bertamu ke rumahnya. Beliau menjadikan rumahnya sebagai “rumah komando” yang terbuka 24 jam untuk urusan dinas kepolisian.
4.    Sederhana
Disaat beliau menjabat sebagai Menteri Iuran Negara, beliau diminta untuk pindah dari rumah pribadi di Jalan Prof. Moh. Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Akan tetapi, permintaan itu ditolak denga alasan bahwa rumah yang sedang ditempatinya sudah cukup representative, sehingga negara tidak perlu lagi untuk mengeluarkan biaya untuknya. Baginya menjadi seorang Menteri Iuran Negara, tugasnya adlah mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan
5.    Jujur
Saat dipensiunkan, lantas Hoegeng Imam Santoso menelepon ibunya, dan sang ibu berpesan “Selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam”, beliau juga mengembalikan semua fasilitas yang diberikan saat menjabat sebagai Kapolri. Saking jujurnya, saat pensiun beliau tidak mempunya rumah, kendaraan, ataupun barang mewah. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, beliau diberikan rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta Pusat, tentunya dengan setelah seluruh perabotan inventaris kantor dikosongkan dari rumah tersebut.
Belajar dari seorang tokoh, adalah salah satu cara untuk mengobarkan semangat yang sama yang dimiliki oleh sang tokoh, begitu pula dengan kisah Hoegeng Imam Santoso ini. Kisah beliau menjadi sebuah oase penyejuk di tengak perilaku bangsa yang kolutif dan koruptif. Andaikan kepribadian dari sosok beliau, jujur, disiplin, tegas, professional, dan sederhana bisa dicontoh oleh setiap orang di negeri ini, betapa bahagianya kita menjadi rakyat Indonesia. Semoga muncul sosok Hoegeng Iman Santoso baru di negeri ini.

Sumber:
Azhar, Herru. 2012. Jenderal Hoegeng: Polisi Yang Tak Pernah Tidur. Tersedia [on-line]: https://djadja.woedpress.com/2012/01/15/jenderal-hoegeng-polisi-yang-tak-pernah-tidur/
Dawami, M. Iqbal. 2010. Anak Kecil Yang Mengubah Dunia. Jogjakarta: Bukubiru.
Huri dan Ririn. 2012. Biografi Hoegeng: Polisi Paling Jujur Di Indonesia. Tersedia [on-line]: http://www.biografiku.com/2012/05/biografi-hoegeng-polisi.paling-jujur-di.html

Musdar, Sari. 2012. Hoegeng, Polisi Paling Jujur, Di Mata Anak Seorang Mantan Ajudannya. Tersedia [on-line]: http://sarimusdar.blogspot.com/2012/10/hoegeng-polisi-paling-jujur-dimata-anak.html

Penulis : Bakhrul Ulum ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Belajar Dari Tokoh Bangsa: Hoegeng Imam Santoso ini dipublish oleh Bakhrul Ulum pada hari Thursday, 11 June 2015. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Belajar Dari Tokoh Bangsa: Hoegeng Imam Santoso
 

0 comments:

Post a Comment