Tsunami Aceh: Sebuah Tadzkiroh Sang Kholiq



Tsunami Aceh: Sebuah Tadzkiroh Sang Kholiq

Minggu, 26 Desember 2004, hari dan tanggal yang tidak bakal terlupakan bagi warga Aceh, bahkan tak akan terlupakan juga bagi sebagian warga di negara Asia Afrika, yaitu: Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh, Srilangka, India, Maladewa, Somalia dan Kenya. Ya, peristiwa gempa dan tsunami.
Peristiwa di ujung tahun 2004 itu, kini sudah hampir 10 tahun berlalu, tetapi hingga sekarang masih meninggalkan bekas kesedihan yang sangat mendalam bagi warga Indonesia. Kenapa tidak?. 173.741 jiwa meninggal dan 116.368 orang dinyatakan hilang.[1] Selain itu, akibat tsunami, tanah yang tadinya hijau subur, perumahan yang tadinya tertata dengan baik, hancur musnah hanya dalam hitungan jam dan tertinggal sampah serta tubuh-tubuh tidak bernyawa, serta menyebabkan hampir setengah juta orang jadi pengungsi.
Negara kita memang tidak pernah lepas dari yang namanya musibah dan bencana. Penderitaan karena bencana masih belum reda, muncul lagi penderitaan yang lain, yang juga diakibatkan oleh musibah atau bencana. Mulai dari bencana lumpur panas Lapindo Brantas yang menenggelamkan ribuan rumah di Kabupaten Sidoarjo, meletusnya gunung Sinabung dan Kelud, hingga tsunami Aceh yang meluluhlantakkan tanah rencong.
Anehnya, setiap terjadi bencana, pasti selalu faktor alam yang pertama kali dijadikan kambing hitam. Padahal alam bukanlah satu-satunya faktor penyebab datangnya suatu bencana, melainkan justru manusianyalah yang lebih mendominasi penyebab bencana ini terjadi. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Ar-Rum [30] ayat 41:
ظَهَرَالْفَسَادُفِى الْبَرِّوَالَبَحْرِبِمَاكَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْالَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (الروم: 41)
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs. Ar-Rum [30]: 41)[2]
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa bencana tsunami yang terjadi di Aceh bukan hanya semata disebabkan oleh faktor alam, yakni diakibatkannya oleh bermacam-macam gangguan (disturbance) berskala besar terhadap air laut, misalnya pergeseran lempeng bumi, gempa bumi, meletusnya gunung berapi di bawah laut, atau tumbukan benda langit[3], melainkan juga disebabkan oleh perbuatan tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab tersebut dilandasi karena sifat egois manusia yang hanya ingin meraup miliaran rupiah, misalnya pemerintah merelakan daerah-daerah resapan air yang seharusnya dilindungi justru dijadikan mall, tempat-tempat peristirahatan mewah serta sebagai tempat meeting para politisi, pejabat, dan pengusaha kaya. Serta pembukaan lahan baru, yang menggerus hutan lindung dan hutan konservasi hanya sekedar untuk penambangan.
Bencana besar karena ulah bejat manusia yang melampaui batas tersebut, semuanya karena sifat manusia yang acuh atau memang pura-pura acuh dalam menjaga serta melestarikan alam. Bahkan secara tidak langsung sedikit demi sedikit merusak alam yang sebenarnya justru karena alam itulah dapat membawa pengaruh besar bagi kehidupan bagi manusia. Hingga Allah Swt. mendatangkan azab tanpa memberi tempo waktu untuk berkemas dan menyelamatkan diri. Akan tetapi, meski sudah bertahun-tahun lamanya perbuatan manusia yang seperti itu, namun masih saja Allah Swt. memberi kehidupan yang enak bagi manusia di bumi ini, yang semestinya harus menerima balasan yang setimpal.
Misalnya, korupsi “berjamaah” yang terjadi di negara tercinta ini, yang sudah menjadi trend di lingkungan pejabat pemerintahan tingkat pusat hingga pada kepengurusan perangkat desa. Semuanya ikut andil besar dalam berkorupsi, dengan berbagai alasan yang berbeda-beda, mulai dari rasa kesetiakawanan, keadilan, dan sebagainya. Apalagi sekarang gaji para pejabat sudah dinaikkan, bahkan sekarang sudah ditambah dengan berbagai tunjangan yang lumayan besar. Lantas apalagi yang masih kurang?, sedang masyarakat kalangan bawah banting tulang siang malam untuk mengisi perut kosong anak-anak mereka.
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Mas’ud dan Ibn ‘Asakir, Rasulullah Saw. menyatakan bahwa sumber azab dan malapetaka itu ada tiga, yaitu takabur (sombong), hasad (iri dan dengki), dan tamak (rakus).[4] Dari ketiga sifat tersebut, bila dikaitkan dengan uraian sebelumnya, yang saling terkait adalah sifat tamak (rakus). Dimana dalam uraiannya Abdul Halim Fathani mengatakan sifat rakus ini akan menumbuhkan sikap materialistis, egoistis, dan pragmatis. Jika sifat ini menimpa seseorang atau suatu bangsa, maka ia akan menjadi budak dari kehidupan dunia yang sifatnya sesaat, seperti materi, kedudukan, jabatan dan kekuasaan. Semua cara akan akan dihalalkan untuk meraihnya.
Allah Swt. berfirman dalam surah Ar-Rum [30] ayat 10:
ثُمَّ كَانَ عَقِبَةَ الَّذِيْنَ اَسَآءُوا السُّوْاٰى اَنْ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِ اللهِ وَكَانُوْابِهَايَسْتَهْزِءُوْنَ (الروم: 10)
Artinya: “Kemudian azab yang lebih buruk adalah kesudahan bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan. Karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya.” (Qs. Ar-Rum[30]: 10)[5]
Dari ayat di atas bahwa rentetan bencana yang terjadi di negeri ini, seperti tsunami Aceh merupakan sebuah azab sekaligus tadzkiroh dari Yang Maha Berkuasa, bukan karena sebuah ujian. Sebab adanya ujian ditimpakan hanya kepada mereka yang beriman. Dan hanya orang yang kurang atau lemah imannya yang melakukan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan oleh orang yang benar-benar takut kepada Allah Swt. semata. Sungguh berat memang, dulu hampir tidak pernah mengalami musibah dan bencana yang berkepanjangan seperti saat ini.
Bencana yang sering kita alami ini (termasuk tsunami Aceh) bukan lagi hanya karena fenomena alam saja, melainkan juga karena perilaku dan moral penghuni alam itu sendiri yang sudah mengalami dekadensi yang tajam. Biasanya orang-orang sadar terhadap apa yang mereka perbuat kalau bencana sudah menimpa kita. Kita juga seharusnya bisa lebih menyadari betapa lemah dan tidak berdayanya kita sebagai makhluk Allah Swt. dengan itu hendaknya kita lebih mendekatkan dan menyandarkan diri hanya pada Allah Swt semata. Maka kembali pada hati nurani kita masing-masing, akankah kita masih mau mengulangi perbuatan yang sama?, jawabannya pasti tidak. Karena kita tahu akibat dan hikmah dari suatu bencana yang terjadi di negeri ini.
Oleh karena itu, kita sebagai penghuni alam seharusnya “berdamai dengan bencana”, yakni dengan cara berdamai dengan alam. Artinya kita mempunyai kesadaran dan tanggung jawab sebagai pengejawantahan dalam menjaga alam, minimal di sekitar tempat tinggal kita. Tidak karena itu saja, kita juga harus lebih banyak merenungi dan mengintropeksi diri baik yang berhubungan dengan Sang Kholiq maupun dengan sesama penghuni alam semesta ini. Apakah selama ini kita melupakan hak-hak Sang Kholiq atau malah sebaliknya, melanggar dan menafikannya dalam hati? Atau masih belum cukupkah segala bencana dan musibah yang terjadi di negeri ini, agar kita kembali ke jalan benar Sang Kholiq?.

             

[1] https://inatnews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=2
[2] Kementerian Agama RI, 2012, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata Dan Terjemahan Per Kata “At-Thayyibah”, hlm: 408
[3] http://wikipedia.org
[4] Abdul Halim Fathani, 2008, Ensiklopedi Hikmah: Memetik Buah Kehidupan di Kebun Hikmah, hlm: 676
[5] Kementerian Agama RI, 2012, Al-Qur’an Transliterasi Per Kata Dan Terjemahan Per Kata “At-Thayyibah”, hlm: 408



<a href=”http://www.tdmrc.org/” title=”Lomba Blog Kebencanaan”>
<img src=”http://www.tdmrc.org/id/wp-content/uploads/2014/06/banner-lomba.png” border=”0″ /></a>

Penulis : Bakhrul Ulum ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Tsunami Aceh: Sebuah Tadzkiroh Sang Kholiq ini dipublish oleh Bakhrul Ulum pada hari Sunday, 13 July 2014. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 2 komentar: di postingan Tsunami Aceh: Sebuah Tadzkiroh Sang Kholiq
 

2 comments:

  1. Daerah Indonesia yg pertama kali dimasuki Islam ialah Aceh
    Kejadian tsunami di Aceh bukanlah sebuah azab melainkan sebuah cobaan yg diberikan Allah swt,jika Allah menghukum/mengazab sebuah wilayah maka tentu tidak akan ada manusia yg mampu hidup di daerah tsb,jika anda berpendapat tsunami di Aceh yg terjadi pada 11 th yg lalu itu adalah azab,berarti anda telah suzon kepada Allah swt

    ReplyDelete
  2. Sebuah bencana merupakan sebuah azab dan tadzkiroh (peringatan) bagi manusia.
    Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Mas’ud dan Ibn ‘Asakir, Rasulullah Saw. menyatakan bahwa sumber azab dan malapetaka itu ada tiga, yaitu takabur (sombong), hasad (iri dan dengki), dan tamak (rakus).

    Berarti bisa dikatakan bahwasanya azab itu untuk siapa dan tadzkiroh untuk siapa??

    ReplyDelete