Selama
ini metematika dianggap sebagai cabang ilmu yang bersifat netral dengan suatu
budaya, yang tidak terikat dan diangkat dari nilai-nilai sosial (Bishop, 1993;
D’Ambrioso, 1990). Matematika selalu diajarkan di sekolah sebagai mata
pelajaran yang tidak bergantung pada budaya, hanya melibatkan pembelajaran
dengan tujuan secara umum yang disertai dengan fakta, konsep, dan materi. Matematika
diajarkan secara akademik yang terdiri atas bagian dari pengetahuan yaitu
fakta, algoritma, aksioma, dan teorema.
Pada
dasarnya sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena proses belajar merupakan
proses pembudayaan yakni untuk pencapaian akademik siswa, untuk membudayakan
sikap, pengetahuan, keterampilan, dan tradisi yang ada dalam suatu komunitas
budaya. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan pembelajaran matematika di
sekolah, juga bisa dikaitkan dengan kebudayaan yang ada pada komunitas budaya
tempat tinggal siswa.
Pembelajaran
matematika berbasis budaya atau yang sering disebut sebagai etnomatematika mengacu
pada konsep-konsep matematika yang tertanam pada pratik-praktik budaya dan
mengakui bahwa semua budaya dan semua orang mengembangkan metode unik memahami
dan mengubah realitas komunitas budaya (Orey, 2000). Etnomatematika merupakan
sebuah studi tentang perbedaan cara masyarakat memecahkan masalah matematika
dan algoritma praktis berdasarkan perspektif matematika masyarakat sendiri. Etnomatematika
mengacu kepada bentuk-bentuk matematika yang bervariasi sebagai konsekuensi
yang tertanam dalam kegiatan budaya.
Menurut
Rowlands dan Carson (2002), ada empat kemungkinan etnomatematika dimasukkan
dalam pembelajaran matematika sekolah, yang mana etnomatematika mempunyai
peranan yang relatif sama terhadap matematika formal, yaitu: (1) pengganti
matematika sekolah, (2) penyuplai matematika sekolah, (3) batu loncatan ke
matematika sekolah, dan (4) motivasi untuk matematika sekolah.
Pembelajaran
matematika berbasis budaya merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat
menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna dan kontekstual yang sangat
terkait dengan komunitas budaya, di mana matematika dipelajari dan akan
diterapkan nantinya, karena selaras dengan komunitas budaya tempat tinggalnya,
serta menjadikan pembelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan. Selain itu,
pengetahuan matematika juga dapat diperoleh siswa di luar sistem terstruktur
pembelajaran matematika seperti di sekolah. Berikut contoh pengetahuan
matematika yang diperoleh dari luar sekolah:
1. Pengukuran:
satuan luas yang masih berlaku sampai sekarang di daerah penghasil tebu
seperti: Jombang, Kediri, Sidoarjo, Madiun, dan Ngawi yaitu satuan yang
berkaitan dengan jual beli sawah atau kebun. Satuan tersebut yaitu bata (baca boto) yang ekuivalen dengan ru.
Hubungan bata, ru, dan satuan
baku adalah 1 ru = 1 bata = 14,2 m2. Di samping
itu, satuan luas yang populer di Jawa Timur bagian selatan adalah bau, dengan 1 bau setara dengan 700 m2. Serta, satuan lainnya seperti: kedok dan catu untuk jual beli sawah (1 kedok = 5.000 m2, 1 catu =
2.500 m2), rean untuk jual
beli nener (anakan ikan/udang), yang mana 1 rean
setara dengan 5.000 nener.
2. Geometri:
banyak produk anyaman bambu yang dapat digunakan sebagai pembelajaran
matematika di bidang geometri, seperti: kukusan
dan topi petani sebagai model dari kerucut, serta wuwu dan rinjing sebagai
model dari kerucut terpancung.
Contoh
di atas merupakan suatu kebudayaan dari suatu komunitas budaya, yang bisa
diterapkan dalam pembelajaran matematika yang berbasis budaya. Akan tetapi,
sebelum menggunakannya dalam pembelajaran, perlu adanya suatu analisis yang
mendalam terhadap kebudayaan tersebut, terkai dengan sesuai atau tidaknya
dengan materi yang akan diajarkan. Setidaknya, kebudayaan tersebut minimal bisa
menjadi sebuah muatan lokal dalam pembelajaran di sekolah.
Tulisan ini merupakan review dari
Makalah Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd yang berjdul “Etnomatematika:
Sebagai Batu Pijakan Untuk Pembelajaran Geometri dan Penanaman Karakter” yang
disajikan pada SeNdiMat Ke-3 PPPPTK Matematika pada tanggal 11-12 November 2015
di Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment