GREBEK MAULID ALA WARGA SURABAYA

Minggu, 18 Desember 2016

Berbicara bulan Maulid (Mulud) atau bulan Robi’ul Awal dalam penanggalan Hijriyah, merupakan sebuah bulan bersejarah bagi umat Islam, karena di bulan ini adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw., Yach... tepatnya pada tanggal 12 Robi’ul Awal. Banyak tradisi di daerah untuk memperingati kelahiran Sang Rosul ini, seperti pengajian umum dengan menghadiran kyai dan ustadz, sholawatan, dan grebek maulid yang dilakukan oleh warga Surabaya ini, ini semua tak lain adalah bentuk kecintaan umatnya kepada sang Rosul.

Grebek Maulid yang dilakukan oleh warga Surabaya ini bertempat di Tugu Pahlwan, dimulai sekitar pukul 07.00 Wib dan diikuti oleh perwakilan dari berbagai kecamatan yang ada di Surabaya, sanggar tari Surabaya, siswa-siswi se-Surabaya, serta masyarakat Surabaya tentunya. Pada grebek Maulid ini terdapat empat gunungan yang berisikan buah dan sayuran, serta beberapa jajanan tradisional, seperti kucur, apem, kue tok, dan sebagainya. Sedangkan untuk buah dan sayurnya, ada nanas, wortel, kacang panjang, apel, jeruk, salak, belimbing, tomat, pare, wortel, buah naga, dan sebagainya. Selain gunungan buah dan sayur, serta jajanan tradisional, juga terdapat beberapa topeng yang juga akan diperebutkan.

Acara grebek maulid dimulai dengan penampilan tari topeng maulid oleh sanggar tari Surabaya dan siswa-siswi se-Surabaya, dilanjut dengan sholawat Nabi oleh tim Hadrah, dan pembacaan doa, serta terakhir berebut gunungan dan topeng. Saking antusiasnya warga Surabaya untuk mengikuti acara ini, acara belum dimulaipun warga sudah pada berebut topeng, meskipun sudah dijaga oleh Linmas dan Satpol PP. Tetapi.. dengan kesigapan sang penjaga keamanan tersebut, sang topeng yang sudah direbut diminta kembali, dan dipasang di tempat semula.


Tari topeng maulid mulai, warga masih aman terkendali, meskipun sudah mulai berangsek mendekat ke gunungan. Dan endingnya adalah ketika pembacaan doa, warga yang sudah mendekat pun tidak bisa dikerahkan lagi, dan rebutan gunungan pun terjadi. Padahal, gunungan tersebut setelah doa akan diusung dan disebar diberbagai titik penonton. Tetapi.. ini tidak terjadi.

Gunungan Buah dan Sayur

Rebutan Gunungan

Rebutan Gunungan

Rebutan Gunungan

Rebutan Gunungan


Rebutan topeng sebelum acara dimulai







 

ANAK DAN PERMAINAN

Cover Buku

A.  Identitas Buku

Judul Buku      : Kumpulan Permainan Interaktif Untuk Meningkatkan Kecerdasan Anak
Penulis             : Imas Kurniasih, S.Pd.I.
Tahun Terbit    : 2012
Kota Terbit      : Yogyakarta
Penerbit           : Cakrawala
Tebal Buku      : 120 Halaman

B.  Ringkasan Isi Buku

Permainan tidak bisa dilepaskan dari masa kanak-kanak yang indah dan menggembirakan. Apabila kita ditanya tentang masa kanak-kanak, tentu kita akan dengan suka cita menceritakan berbagai pengalaman menyenangkan yang pernah dialami. Semuanya begitu indah dan menggembirakan. Mengapa demikian?, karena masa kank-kanak adalah masa bermain. Namun, masih ada orang tua yang beranggapan bahwa bermain adalah aktivitas yang membuang-buang waktu. Mereka lebih suka melihat anaknya belajar dengan duduk manis tanpa keributan, dari pada bergerak (moving) dan bersuara (noice).

Menurut Hughes (1999), bermain merupakan suatu kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dapat dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasa menyenangkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain. Papalia (1995) mengatakan bahwa anak berkembang melalui bermain. Dunia anak adalah dunia bermain. Dengan bermain, anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia di sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri.

Bermain merupakan kegiatan penting dalam perkembangan anak, karena dengan bermain anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta kepuasan apa yang menjadi kebutuhannya. Melalui kegiatan bermain juga, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain juga akan berkembang. Secara sederhana manfaat bermain bagi anak-anak, di antaranya sebagai berikut: (1) merangsang perkembangan kognitif (indera-pergerakan), (2) membangun struktur kognitif, (3) membangun kemampuan kognitif, (4) belajar memecahkan masalah, (5) mengembangkan rentang konsentrasi, (6) mengembangkan kemampuan berbahasa, (7) meningkatkan sikap sosial, (8) belajar berkomunikasi, (9) belajar berorganisasi, (10) belajar kestabilan emosi, (11) menyalurkan keinginan dan agresivitas secara aman, (12) mengembangkan kepekaan indera dan keterampilan motorik, dan (13) menyalurkan energi fisik yang terpendam.

Permainan merupakan sarana bagi anak-anak untuk belajar, karena banyak hal yang dapat anak pelajari dengan permaian, seperti kesimbangan antara motorik kasar dan motorik halus yang sangat mempengaruhi perkembangan psikologi anak. Permainan juga akan memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar menghadapi situasi kehidupan pribadi sekaligus belajar memecahkan masalah. Banyak jenis permainan yang dapat digunakan sebagai sarana untuk belajar bagi anak, sebagaimana yang terdapat di buku ini, terdapat 63 jenis permainan yang dapat dipilih guna membantu perkembangan anak, terutama perkembangan psikologi anak, seperti permaianan raja dan penjara, cunny say, kantong ajaib, karpet terbang, tupai dan pemburu, serta permainan yang lainnya. Masa kanak-kanak adalah masa bermain, jangan paksa anak kita ketika masih masa kanak-kanak untuk belajar layaknya orang dewasa. Tetapi, melalui permaiananlah kita bisa mengajak anak kita belajar.
 

STRATEGI PEMBELAJARAN SCAFFOLDING IMWR

Strategi Scaffolding IMWR (Inspiring-Modeling-Writing-Reporting) merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan guna melengkapi strategi scaffolding sebelumnya dengan menambahkan langkag inspiring. Scaffolding merupakan memberikan siswa dengan banyak dukungan selama tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi dukungan tersebut, setelah siswa mampu mengambil tanggung jawab yang diberikan secara mandiri. Langkah inspirasi sangat penting bagi siswa dalam pembelajaran, karena langkah ini dapat membantu siswa menghubungkan antara pengalaman atau pengetahuan sebelumnya dengan materi atau keterampilan yang akan dipelajari. Siswa diharapkan mampu mengkonstruk pengetahuannya dengan menambahkan langkah inspiring ini. Menginspirasi merupakan hal penting yang perlu dilakukan oleh seorang pendidik, karena dengan menginspirasi siswa akan melakukan proses berpikir untuk menghubungkan pengalaman atau pemahaman awalnya. Inspiring mempunyai tujuan untuk mendorong atau menggalai rasa ingin tahu siswa, sehingga terdorong untuk mempelajari materi yang akan dipelajari.

Strategi IMWR ini digunakan untuk melatih keterampilan yang merupakan langkah pendekatan sainstifik dengan cara menginspirasi siswa untuk belajar konsep dan keterampilan menemukan konsep. Guru akan memodelkan (modelling) keterampilan tersebut jika siswa belum mampu melakukannya, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk meniru keterampilan yang telah dimodelkan, yang kemudian dilanjutkan dengan mengomunikasikan keterampilan yang telah dilakukan untuk menemukan konsep. Pada kegiatan mengomunikasikan ini, siswa diminta untuk menulis (writing) apa yang telah dimodelkan oleh guru, sebagai wujud hasil belajar. Setelah siswa menuliskannya, kemudian siswa diminta untuk melaporkan (reporting), hal ini bertujuan untuk mendorong keterampilan komunikasi secara lisan dan interaksi sosial.


Tulisan ini merupakan review dari ringkasan disertasi Nur Wakhidah yang berjudul “Strategi Scaffolding Inspiring-Modelling-Writing-Reporting (IMWR) Dalam Menerapkan Pendekatan Sainstifik Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep”, pada sidang terbuka Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya, Kamis, 8 Desember 2016. 
 

MODEL PEMBELAJARAN SMART

A.  Landasan Teori Model Pembelajaran Smart

1.    Teori Piaget
Pandangan Piaget pengetahuan datang dari sebuah tindakan, yang mana perkembangan pengetahuan (kognitif) sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Piaget (dalam Ormrod, 2009) ada tiga aspek perkembangan kognitif, yaitu struktur, isi dan fungsi. Struktur atau skemata adalah organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya, sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.
  
2.    Teori Vygotsky
Menurut Vygotsky, siswa memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual menentukan fungsi intelektual individu saat ini dan kemampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal tertentu. Sedangkan tingkat perkembangan potensial merupakan tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain, misalnya gurum orang tua, atau teman sebaya yang lebih tahu. Selain itu, gagasan lain yang penting dari teori Vygotsky adalah scaffolding, yang berarti memberikan pada anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera, setelah anak mampu mengerjakan sendiri (Slavin, 2009).
  
3.    Teori Pemrosesan Informasi
Menurut teori pemrosesan informasi, anak-anak mengembangkan kapasitas untuk memproses informasi yang secara bertahap mengalami peningkatan. Hal ini memungkinkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang sangat kompleks (Santrock, 2011). Kemampuan pemrosesan informasi anak-anak meningkat ketika mereka tumbuh dan menjadi dewasa, serta ketika mengenal dunia. Perubahan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh peningkatan kapasitas dan kecepatan pemrosesan.

4.    Teori Ausubel
Inti dari teori Ausubel adalah terkait dengan belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke pengatahuan yang dimilikinya. Seseorang dapat mengembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya, dalam proses belajar ini siswa mengonstruk apa yang telah ia pelajari sendiri.

B.  Model Pembelajaran Smart
Model pembelajaran smart ini dikembangkan dari model pembelajaran scaffolding berbantuan analogi. Scaffolding merupakan suatu strategi pengajaran yang bersumber dari teori sosiokultural Vygotsky dan konsepnya tentang zone of proximal development (Slavin, 2009), sedangkan analogi merupakan suatu pemetaan pengetahuan dari suatu domain (domain dasar) ke domain lain (target) yang memperlihatkan suatu sistem hubungan, yakni apa yang dimiliki oleh domain dasar juga dimiliki oleh domain target (Vendetti, 2005). Berdasarkan dua model inilah, model smart dikembangkan, yang mana memiliki langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
1.    Sajikan fenomena
2.    Motivasi siswa mengemukakan/merumuskan pertanyaan
3.    Arahkan siswa melakukan eksplorasi
4.    Rumuskan simpulan dan komunikasikan
5.    Terapkan temuan pada konteks baru
  
C.  Daftar Pustaka

Ormrod, J. Ellis. (2009). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Erlangga.  

Santrock, J.W. (2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.

 Slavin, R.E. (2009). Educational Psychology Theory and Practice. Eight Edition. Boston: Allyn and Bacon.  

Vendetti, M., Matlen, B., Richland, L., Bunge, S. (2005). Analogical Reasoning in the Classroom: Insight From Cognitive Science. International Mind, Brain, and Education. Society and Wiley Periodicals. Inc. Vol. 9. No. 2


Tulisan ini merupakan review dari ringkasan disertasi Masrah Latjompoh yang berjudul “Model Pembelajaran Scaffolding Berbantuan Analogi (Model Smart) Dalam Pembelajaran IPA Untuk Melatih Kemampuan Berpikir dan Menuntaskan Penguasaan Konsep Siswa SMP” pada Sidang Terbuka Prodi Pendidikan Sain, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya, pada tanggal 8 Desember 2016.
 

MODEL PEMBELAJARAN P3E

 A.  Landasan Teori Model P3E

1.    Teori Skema
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget diperoleh melalui aktivitas mental berupa pola organisasi sikap atau skema, sehingga dapat memahami saat berinteraksi dengan dunianya. Proses terbentuknya pengetahuan baru terjadi melalui proses adaptasi dengan mekanisme subproses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan interpretasi pengalaman yang dialami dengan melakukan pencocokan dengan skema yang ada pada diri seseorang, sedangkan akomodasi merupakan proses pengubahan skema agar sesuai dengan pengalaman yang diperoleh.Piaget menyatakan bahwa semua perkembangan skema bersifat universal bagi seluruh umat manusia, sehingga implikasinya bagi pendidikan tidak dapat mengajarkan sesuatu pada pola seseorang bila belum ada kesiapan yang merujuk kepada kematangannya.[1]

2.    Teori Konstruktivisme
Pembelajaran konstruktivistik menekankan pada peran siswa untuk menyusun sendiri pengetahuannya melalui pembelajaran yang dilakukan.[2] Model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme ini memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa yang mungkin diperoleh di luar sekolah. Agar pengetahuan siswa yang diperoleh dari luar sekolah dipertimbangkan sebagai pengetahuan awal dalam sasaran pembelajaran, karena sangat mungkin terjadinya miskonsepi. Selain itu, sebagaimana teori konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vigotsky mempunyai tiga implikasi utama, yaitu: (a) melalui interaksi sosial siswa dapat menjadi sadar fungsi mental dasarnya dan mampu menggunakan untuk pertumbuhan. (b) guru memberikan tugas-tugas dalam jangkauan siswa (zone of proximal development), dan (c) memberikan pembelajaran dengan scaffolding.[3]

3.    Teori Penemuan
Siswa akan mudah mengingat suatu konsep, jika konsep tersebut siswa dapatkan melalui proses belajar penemuan.[4] Perolehan pengetahuan dan mengkonstruksi pengetahuan yang diperoleh dengan penyelidikan (inquiry) menunjukkan beberapa kelebihan, di antaranya: (a) pengetahuan itu akan lebih lama, (b) hasil belajar inkuiri memiliki efek transfer yang lebih baik, dan (c) meningkatkan penalaran peserta didik dalam kemampuan berpikir secara bebas.

4.    Teori Belajar Bermakna
Pembelajaran bermakna merupakan pengolahan informasi baru ke pikiran terkait dengan pengetahuan yang dipelajari.[5] Belajar bermakna merupakan suatu proses menghubungkan informasi baru dengan struktur pengetahuan yang sudah dimiliki anak.[6] Anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang diperoleh untuk memecahkan masalah dalam kehidupan, sehinggaaktivitas belajar akan menimbulkan makna yang berarti (meaningfull).

B.  Model Pembelajaran P3E

Model pembelajaran P3E dikembangkan dari dua model praktikum yaitu, praktikum konvensional (ekspositori) dan model guided inquiry lab. Hal ini disebabkan karena kedua model tersebut masih memiliki beberapa kelemahan, di antaranya untuk model praktikum konvensional aktivitas pembelajaran di dominasi oleh guru, mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut[7], serta pelaksanaan praktikum ekspositori oleh sebagaian besar institusi/sekolah tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang tujuan dari penyelidikan dan urutan tugas-tugas yang dibutuhkan hanya untuk mengejar penyelesaian tugas-tugas tersebut[8]. selain itu juga, kegiatan praktikum konvensional belum meningkatkan keterampilan proses sains, sikap ilmiah, dan keterampilan berpikir kritis.[9] Sedangkan, untuk model guided inquiry lab memiliki kelemahan yaitu terlihat pada sintaks belum mencantumkan dengan jelas tujuan pembelajaran dan tidak adanya fase evaluasi.[10]

Dari hasil analisis kedua model pembelajaran tersebut (praktikum konvensional dan guided inquiry lab) serta teori pembelajaran diatas, maka diperoleh rumusan model pembelajaran P3E dengan fase dan kegiatan pembelajaran sebagai berikut:

Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Fase 1: Pengorganisasian (P)
1.     Guru menyampaikan kontrak belajar
2.     Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut
3.     Mengapresiasi dan memotivasi siswa untuk belajar (seperti memberikan pertanyaan yang menantang dan menanyakan materi yang telah dipelajari dan akan dipelajari)
4.     Mendemontrasikan konsep yang ingin dicapai
1.    Siswa mematuhi kontrak belajar
2.    Salah satu siswa mengulangi menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut
3.    Siswa menjelaskan pertanyaan yang menantang dari guru dan menjelaskan materi-materi yang sudah dipelajari dan yang akan dipelajari
4.    Salah satu siswa mendemonstrasikan kembali yang dicontohkan oleh guru
Fase 2: Penyelidikan (P)
1.     Menyajikan fenomena sains
2.     Membagikan LKS
3.     Memfasilitasi dan membimbing siswa melaksanakan penyelidikan
Siswa melaksanakan kegiatan penyelidikan dengan menjawab hal-hal sebagai berikut:
1.    Merumuskan masalah
2.    Merumuskan hipotesis
3.    Mengidentifikasi variabel
4.    Definisi operasional variabel
5.    Merancang kegiatan penyelidikan
6.    Memperoleh data penyelidikan
7.    Menganalisis data hasil penyelidikan
8.    Menarik kesimpulan
Fase 3: Presentasi (P)
1.    Guru membimbing siswa mempersentasikan hasil praktikum dan membimbing membuat kesimpulan akhir proses pembelajaran
1.    Salah seorang wakil kelompok mempresentasikan hasil percobaan kelompoknya
2.    Kelompok lain diberi kesempatan untuk memberi tanggapan
3.    Siswa merumuskan kesimpulan dan rangkuman tentang percobaan dengan bimbingan guru
Fase 4: Evaluasi (P)
1.    Guru memberikan tugas sebagai tindak lanjut dengan mengacu buku ajar
1.     Siswa melakukan refleksi dan evaluasi terhadap, pengukuran, penyelidikan, dan proses-proses yang digunakan dengan bimbingan guru
2.     Siswa mencatat tugas untuk dikerjakan di rumah pada buku ajar   

Tulisan ini merupakan review dari ringkasan disertasi Bahtiar yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran P3E Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Madrasah Aliyah”, pada acara ujian terbuka Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, hari Kamis, 8 Desember 2016.



[1] Suyono dan Hariyanto. (2011). Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[2] Trilling, B. dan Hood, P. (1999). Learning, Technology, and Education Reform in The Knowledge Age. Educational Technology. May-June: 5-18.
[3] Arend, R. (2012). Learning to Teach, 9th Edition. New York: Mc-Graw Hill.
Slavin, E.R. (2011). Educational Psycology: Theory and Practice. USA: Parson.
[4] Jerome Bruner dalam Nur, M. (1998). Teori Perkembangan Kognitif. Surabaya: Unesa University Press.
[5] Slavin. (2011). Opcit.
[6] Nur, M. (1998). Opcit.
[7] Sudjana dan Rivai. (2002). Media Pengajara. Bandung: Alfabeta
[8] Donnell, C. Mc., O’Connor C., dan Seery, M.K. (2007). Developing Practical Chemestry Skills by Means of Students-Driven Problem Based Learning Mini-Projects. Journal of Chemistry Education Research and Practice. 8 (2), 130-139.
[9] Liliasari. (2009). Berpikir Kritis Dalam Pembelajaran Sains Kimia Menuju Profesionalitas Guru. Bandung: Program Studi Pendidikan IPA Sekolah Pascasarjana UPI.
[10] Wenning, Carl. (2012). The Level Inquiry Model of Science Teaching. Journal pg Physics Teacher Education Online, 6 (2). 9-16.
 

KARAKTERISTIK PENGETAHUAN KONTEN PEDAGOGIS (PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE) GURU MATEMATIKA SMP PADA SEGI EMPAT DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER

Tulisan ini merupakan review dari ringkasan disertasi Bettisari Napitupulu, dalam ujian Doktor Terbuka Program Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya pada hari Jum’at, tanggal 2 Desember 2016, di gedung K.10.03 PPs Unesa.


Pendahuluan
PP I No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Nasional Pendidikan pasal 28, pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi yaitu, (a) kompetensi pedagogis, (b) kompetensi profesional, (c) kompetensi kepribadian, dan (d) kompetensi sosial.

Tidak jarang dalam pembelajaran guru meminta siswa untuk memeriksa pekerjaan teman sebangkunya, lalu memberi nilai. Dan jika ada siswa yang meminta penjelasan mengapa jawabannya disalahkan dan guru hanya memberi alasan bahwa jawaban siswa tidak sesuai dengan kunci jawaban.

Dalam kegiatan inti pembelajaran, tak jarang pula guru menggunakan LKS, siswa hanya diminta untuk mengisi LKS tersebut, kemudian memeriksanya sesuai dengan kunci jawaban, dan sebagian besar soal yang ada di LKS berbentuk pilihan ganda. Pembelajaran seperti ini tidak memberikan gambaran yang komprehensif kepada guru tentang pemahaman siswa dan juga kesulitan belajar siswa, karena kemungkinan siswa menjawab benar bukan karena memahami materi tersebut, akan tetapi karena adanya peluang untuk menebak jawaban.

Dalam pembelajaran geometri, hampir tidak ada guru SMP yang menggunakan teori van Hiele dalam mengerjakan materi geometri di SMP. Sebagian besar guru dalam pembelajaran lebih menekankan penguasaan sejumlah definisi, sifat-sifat dari bangun di bidang dan bagaimana membuktikan teorema-teorema yang ada tanpa memperhatikan apakah siswa mampu memvisualisasikan teorema-teorema tersebut.

Guru membutuhkan pengetahuan yang spesifik dalam merancang suatu strategi pembelajaran yang dapat diandalkan dalam mengatasi persoalan-persoalan siswa, dan PCK merupakan suatu pengetahuan yang memadukan pengetahuan konten dan ilmu pedagogi dalam rangka merancang pengajaran untuk suatu topik tertentu atau masalah yang mengakomodasi keragaman kemampuan dan minat dari setiap siswa.

Hasil penelitian dibeberapa negara yang menunjukkan bahwa ada pengaruh gender guru pada hasil belajar siswa, seperti: hasil penelitian Dee (2006) yang menginvestigasi pengaruh gender guru dan hasil belajar siswa di USA, menunjukkan bahwa ada pengaruh positif dari variabel gender guru terhadap hasil belajar siswa, yaitu jika siswa diajar sama jenis kelaminnya dengan gurunya.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian: penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan subjek lebih dari satu orang (multiple case studies)

Subyek Penelitian: guru matematatika SMP yang mengajar di kelas VII SMP pada semester 2 di kota Jayapura dan Sentani provinsi Papua, serta subyek tambahan yaitu sepuluh orang siswa SMP kelas VII masing-masing lima orang dari setiap guru.

Instrumen Penelitian: (1) peneliti sebagai instrumen utama, (2) lembar pekerjaan siswa pada segi empat, (3) lembar hasil analisis guru terhadap pekerjaan siswa, dan (4) pedoman wawancara sebagai instrumen bantu.

Analisis Data: reduksi data, kategorisasi data atau klasifikasi data, interpretasi atau penafsiran data, dan penarikan kesimpulan.

Teknik Keabsahan Data: trianggulasi waktu, serta dengan cara melakukan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, dan diskusi dengan teman sejawat.
Hasil Penelitian
Pengetahuan Kedua Guru dalam Membangun Ide-ide Matematika Siswa: (a) Pengetahuan kedua guru tentang penyajian materi segiempat: pengetahuan kedua guru dalam menyajikan materi segiempat masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dari ketidaktahuan kedua guru tentang tentang peran penting definisi dalam pembelajaran segiempat secara umum sehingga definisi tersebut harus diajarkan diawal pembelajaran segiempat. (b) Pengetahuan guru tentang pemberian contoh-contoh bangun segiempat: pengetahuan kedua guru dalam pemberian contoh-contoh bangun segiempat masih terbatas. Hal ini dapat dilihat dari contoh-contoh gambar setiap bangun segiempat baik contoh-contoh konkret maupun semi konkret yang diberikan kedua guru hanya-hanya contoh standar. (c) Pengetahuan guru tentang penggunaan alat peraga dalam mengajarkan materi segiempat: pengetahuan kedua guru tentang penggunaan alat peraga (model konkret) dalam pembelajaran segiempat sudah memadai, akan tetapi kedua guru belum maksimal dalam memanfaatkan alat peraga tersebut. artinya kedua guru tidak menggunakan alat peraga tersebut sedemikian rupa sehingga guru dapat meminimalkan bahkan menghindari terjadinya fenomena prototipe.(d) Pengetahuan guru tentang kaitan materi prasyarat dan kaitannya dengan materi segiempat yang sedang dipelajari: pengetahuan guru laki-laki tentang materi prasyarat dan kaitannya dengan segiempat masih terbatas dengan indikasi guru hanya membahas sepintas materi prasyarat untuk segiempat, sedangkan pengetahuan guru perempuan sudah memadai dengan indikasi guru membahas materi prasyarat untuk segiempat. Karakteristik pengetahuan guru yang hanya muncul dari guru laki-laki saja adalah pengetahuan guru tentang tujuan pembelajaran hanya berorientasi pada kebutuhan siswa, artinya pengetahuan guru tentang tujuan pembelajaran segiempat masih sangat terbatas.

Pengetahuan Guru tentang Pemikiran, Miskonsepsi Siswa, dan Kesalahan Siswa dalam Mempelajari Segiempat: (a) Pengetahuan guru tentang pemikiran siswa, miskonsepsi dan kesalahan siswa dalam mempelajari segiempat: pengetahuan kedua guru tentang pemikiran siswa, miskonsepsi, dan kesalahan siswa sudah memadai. Hal ini dapat dilihat dari miskonsepsi-miskonsepsi yang ditemukan kedua guru dalam mempelajari segiempat, seperti: bangun segiempat hanyalah persegipanjang dan persegi saja, miskonsepsi siswa tentang bangun dan gambar segiempat sembarang, ketidakcocokan pilihan gambar bangun segiempat dengan definisi yang diketahui siswa. (b) Pengetahuan guru tentang miskonsepsi mengenai kosakata geometrik yang digunakan dalam mempelajari segiempat: pengetahuan kedua guru tentang miskonsepsi mengenai kosakata geometrik yang digunakan dalam mempelajari segiempat sudah memadai, artinya kedua guru mengetahui kesulitan siswa dalam menggunakan kosa kata geometrik. Kedua guru juga sudah berusaha untuk melakukan upaya perbaikan. (c) pengetahuan guru dalam membuat perencanaan perbaikan pembelajaran segiempat: pengetahuan kedua guru tentang perencanaan perbaikan pembelajaran yang dilakukan guru sudah memadai, yaitu pengetahuan guru dalam membuat perencanaan perbaikan pembelajaran dengan menggunakan diagram keluarga segiempat secara komplit.

Perbedaan Pengetahuan Konten Kedua Guru Pada Materi Segiempat: dalam penyajian materi segiempat, guru laki-laki tidak menggunakan diagram keluarga segiempat dan tidak memperkenalkan hubungan antarbangun segiempat, sedangkan guru perempuan memperkenalkan konsep-konsep segiempat diawali dengan memberikan contoh dan noncontoh bangun-bangun segiempat. Selain itu, guru perempuan menggunakan diagram keluarga segiempat dalam menunjukkan keterkaitan antarbangun segiempat walaupun hanya pada sebagian bangun-bangun segiempat.